Meninggalnya salah satu pendiri Apple, Steve Jobs
kembali mengingatkan banyak orang pada salah satu pidatonya yang
terkenal yang pernah ia sampaikan di hadapan para wisudawan Universitas
Stanford, California pada tahun 2005. Video pidato itu juga kembali
bermunculan di berbagai media sosial, demikian juga dengan kutipan
kata-kata “Stay Hungry. Stay Foolish” yang ia ucapkan di akhir pidato itu.
Seorang kawan wartawan di Jakarta tadi pagi menghubungi saya
untuk menanyakan apa arti kutipan “Stay Hungry. Staf Foolish” serta apa
sebenarnya yang disampaikan Steve Jobs dalam pidatonya di Stanford itu
dan apa maknanya? Waduh, penjelasan saya bisa saja subyektif karena
interpretasi orang bisa berbeda-beda. Karena itu saya putuskan untuk
menerjemahkan saja isi pidatonya dari naskah asli yang bisa ditemui
tautannya di akhir artikel ini. Siapa tahu Anda bisa mendapatkan
interpretasi sendiri yang jauh lebih menarik.
Sedikit pengantar: Pada intinya pidato itu berisikan tiga cerita.
Bagian pertama tentang bagaimana Steve Jobs menghubungkan
berbagai peristiwa dalam hidupnya hingga ia bisa menjadi seperti
sekarang. Ia menyebutnya sebagai “Connecting The Dots” atau
menghubungkan titik-titik dalam hidupnya.
Disini Steve bercerita
tentang kelahirannya, tentang bagaimana ibunya memutuskan
mengadopsikannya, tentang drop outnya ia dari kuliah, perjuangannya
selama drop out dan “hikmah” apa yang semua perjalanan hidupnya di masa
itu bagi Apple saat ini.
Bagian kedua berisikan tentang cinta dan kehilangan. Disini ia
bercerita tentang awal mula karirnya dalam mendirikan perusahaan Apple
di garasi rumahnya, tentang bagaimana ia dipecat dari perusahaan yang ia
dirikan itu, serta bagaimana ia jatuh dan bangkit kembali.
Bagian ketiga atau terakhir, adalah ceritanya tentang kematian.
Disini Steve bercerita tentang pengalamannya saat didiagnosa terkena
tumor pankreas, tentang pemahannya mengenai kematian dan pelajaran
berharga apa yang ia dapat. Disini pula ia menutup pidatonya dengan
kutipan “Staf Hungry.Stay Foolish”.
Menarik untuk dicatat bahwa kutipan itu aslinya bukan dari
Steve Jobs. Kutipan itu diambilnya dari sampul belakang sebuah majalah
atau katalog yang terkenal di masa mudanya. Walaupun demikian, kutipan
tadi menurut saya sangat amat relevan dengan pidatonya itu.
Berikut terjemahan pidatonya. Mohon masukan kalau ada bagian terjemahan yang dirasa kurang.
Keterangan dan Tautan terkait:
- Keterangan foto: suasana di Apple Store Shibuya hari ini (06/10/2011) yang dipenuhi mereka yang ingin menyampaikan ucapan duka.
-----------
Pidato Steve Jobs Dalam Wisuda Universitas Stanford
12 Juni 2005
Saya merasa terhormat bisa hadir hari ini dalam wisuda salah
satu universitas terbaik di dunia ini. Saya sendiri tidak pernah lulus
perguruan tinggi. Bahkan kenyataannya ini acara yang paling dekat dengan
wisuda yang pernah saya datangi. Hari ini saya ingin menceritakan tiga
kisah dari kehidupan saya. Cuma itu. Tiga cerita saja.
Pertama tentang saling menghubungkan titik-titik dalam hidup.
Saya drop out dari Reed College setelah kuliah selama 6 bulan,
tapi kemudian tetap disana selama sekitar 18 bulan sebelum saya akhirnya
benar-benar keluar. Kenapa saya keluar?
Kisahnya berawal dari sejak saya belum lahir. Ibu kandung saya
adalah seorang lulusan perguruan tinggi yang masih muda, tidak menikah,
dan ketika itu ia memutuskan mengadopsikan saya kepada orang lain. Ia
sangat ingin saya diadopsi oleh lulusan perguruan tinggi. Jadi saya
memang sudah dipersiapkan untuk diadopsi begitu lahir oleh seorang
pengacara dan istrinya.
Tapi begitu saya lahir, di menit-menit terakhir,
pasangan itu memutuskan mereka sangat menginginkan anak perempuan.
Orangtua saya (yang kemudian mengadopsi Steve Jobs) saat itu sedang
dalam daftar tunggu (untuk mendapatkan anak adopsi). Pada suatu tengah
malam mereka mendapat telepon dan ditanya: “Ini diluar perkiraan, tapi
kami ada bayi laki-laki. Anda mau (mengadopsinya)?” Mereka bilang:
“Tentu.” Belakangan ibu kandung saya mengetahui kalau ibu (yang
mengadopsi) saya sebenarnya tidak pernah lulus perguruan tinggi, dan
ayah (yang mengadopsi) saya tidak pernah lulus SMA.
Dia menolak
menandatangani surat adopsi final. Tapi beberapa bulan kemudian ia
akhirnya mengalah setelah orangtua (yang mengadopsi) saya itu berjanji
bahwa suatu hari saya akan disekolahkan ke perguruan tinggi.
17 tahun kemudian saya memang masuk perguruan tinggi. Tapi saya
dengan naifnya memilih perguruan tinggi yang biaya kuliahnya hampir
semahal Stanford. Akhirnya semua tabungan orangtua saya -yang berasal
dari kelas pekerja- pun habis untuk biaya kuliah.
Setelah 6 bulan, saya
tidak bisa lagi melihat manfaatnya. Waktu itu saya tidak tahu mau kemana
arah hidup saya dan tidak tahu bagaimana perguruan tinggi bisa membantu
mengetahui hal itu, sementara saya malah menghabiskan uang tabungan
seumur hidup milik orangtua. Akhirnya saya memutuskan untuk drop out
saja dan meyakini bahwa semua pada akhirnya akan berakhir baik-baik
saja.
Saat itu saya cukup takut, tapi ketika (sekarang) menoleh kembali
ke belakang, saya menyadari itu adalah keputusan terbaik yang pernah
saya buat. Begitu drop-out saya bisa berhenti mengikuti kuliah-kuliah
wajib yang tidak menarik bagi saya, dan mulai ikut mendengarkan
perkuliahan-perkuliahan yang nampak menarik.
Keadaan waktu itu tidak ada romantis-romantisnya. Saya tidak
punya kamar di asrama, jadi saya tidur di lantai kamar kawan.
Saya
membeli makan dengan menukarkan botol-botol coca-cola untuk mendapatkan
uang 5 sen, dan setiap Minggu malam saya harus berjalan kaki melintasi
kota sejauh 7 mil (lebih dari 11 kilometer) untuk bisa mendapatkan makan
malam yang layak di kuil Hare Krishna. Saya menyukainya. Banyak hal
yang saya temui karena mengikuti rasa ingin tahu serta intuisi saya
yang di kemudian hari terbukti sangat berharga.
Saya beri satu contoh:
Reed College waktu itu punya kelas membuat kaligrafi yang
mungkin terbaik di seluruh negeri. Di seluruh kampus, setiap poster,
setiap label di setiap laci, semuanya ditulis dengan kaligrafi yang
indah. Karena saya sudah drop-out dan tidak harus mengikuti perkuliahan
seperti biasa, saya putuskan ikut kelas belajar menulis kaligrafi. Saya
jadi belajar tentang huruf-huruf serif dan sans serif, tentang variasi
jarak antara berbagai kombinasi huruf, tentang seperti apa tipografi
yang hebat itu. Kehalusan dan kerumitannya sedemikian indah, bersejarah
dan artistik, dan ini sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh sains. Bagi
saya itu sangat mengagumkan.
Hal-hal seperti ini nampak tidak memiliki manfaat praktis bagi
kehidupan saya ke depannya. Tapi sepuluh tahun kemudian, ketika kami
sedang mendisain komputer Macintosh yang pertama, saya jadi teringat
kembali (pada kelas kaligrafi itu). Kamipun memasukkannya semua ke dalam
disain Mac. Mac adalah komputer pertama yang memiliki tipografi yang
indah. Kalau saja saya tidak ikut dalam perkuliahan itu waktu di kampus
dulu, Mac mungkin tidak akan pernah memiliki beragam jenis huruf atau
huruf-huruf yang memiliki jarak proporsional. Karena Windows hanya
meniru Mac, sepertinya tidak ada komputer pribadi yang memiliki hal
seperti itu.
Kalau saja saya tidak drop-out, saya tidak akan pernah ikut
dalam kelas kaligrafi itu, dan komputer pribadi mungkin tidak akan
memiliki tipografi yang indah seperti sekarang. Semasa masih di kampus,
tentu saja mustahil untuk dapat saling menghubungkan semua titik-titik
ini ke masa depan. Tapi 10 tahun kemudian, ketika saya menoleh ke
belakang, semuanya nampak sangat.. sangat jelas.
Sekali lagi, kita tidak dapat saling menghubungkan titik-titik
itu ke masa depan. Kita hanya bisa melihat hubungan antar titik itu
dengan menoleh ke belakang. Jadi kita harus yakin bahwa entah bagaimana
caranya titik-titik itu akan saling terhubung di masa depan kita. Kita
harus punya keyakinan terahdap sesuatu, baik itu perasaan, takdir,
kehidupan, karma, apa saja. Pendekatan seperti ini tidak pernah
mengecewakan saya dan telah membuat hidup saya menjadi berbeda.
Cerita saya yang kedua adalah tentang cinta dan kehilangan.
Saya beruntung bisa menemukan sesuatu yang saya sukai di
masa-masa awal hidup saya. Woz (Steve Wozniack, yang bersama Steve Jobs
dan Ronald Wayne mendirikan Apple Computer di tahun 70-an) dan saya
memulai Apple di garasi rumah orangtua saya saat saya masih berusia 20
tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya
kami berdua di dalam sebuah garasi menjadi sebuah perusahaan senilai 2
milyar dolar dengan lebih dari 4000 karyawan. Setahun sebelumnya kami
baru saja meluncurkan ciptaan terbaik kami, Macintosh, dan waktu itu
saya baru berusia 30 tahun.
Lalu saya dipecat. Tapi bagaimana sampai
bisa dipecat dari perusahaan yang saya dirikan sendiri? Begini, saat
Apple berkembang, kami mempekerjakan seseorang yang waktu itu saya pikir
sangat berbakat untuk menjalankan perusahaan bersama saya. Di
tahun-tahun pertama semua berjalan lancar. Tapi kemudian visi masa depan
kami mulai berbeda arah dan pada akhirnya kami bertengkar. Saat itu
Dewan Direktur memihak kepadanya. Akhirnya saya keluar di usia 30 tahun.
Benar-benar keluar secara terbuka. Apa yang selama ini menjadi fokus
seluruh kehidupan masa dewasa saya hilang dan itu sangat menghancurkan
saya.
Selama beberapa bulan saya benar-benar tidak tahu harus berbuat
apa.
Saya merasa telah mengewakan generasi pebisnis sebelum saya karena
saya telah menjatuhkan tongkat estafet yang diteruskan kepada saya.
Waktu itu saya bertemu dengan David Packard (salah satu pendiri
perusahaan terkenal Hewlett Packard) dan Bob Noyce (salah satu pendiri
Intel dan penemu microchip yang merevolusi teknologi komputer) dan
berusaha meminta maaf karena saya sangat membuat kesalahan. Saya
benar-benar gagal di mata publik dan bahkan pernah terpikirkan untuk
lari dari (Silicon) Valley (yang dikenal sebagai pusat bisnis dan
pengembangan teknologi komputer hingga sekarang). Namun perlahan saya
mulai menyadari sesuatu: saya masih mencintai apa yang saya lakukan.
Perubahan yang terjadi di Apple sama sekali tidak mengubah apapun. Saya
pernah ditolak, tapi saya masih mencintai apa yang saya lakukan. Jadi
saya putuskan untuk memulai kembali.
Waktu itu saya tidak menyadarinya, tapi ternyata dipecat dari
Apple adalah hal terbaik yang mungkin pernah terjadi dalam hidup saya.
Beban menjadi sukses berganti menjadi rasa ringan karena kembali menjadi
pemula yang tidak terlalu yakin tentang apapun. Ini membebaskan saya
untuk dapat memasuki salah satu masa-masa paling kreatif dalam hidup
saya.
Selama lima tahun setelahnya, saya memulai sebuah perusahaan
yang dikenal dengan nama NeXT, lalu perusahaan lain bernama Pixar, dan
juga jatuh cinta dengan seorang wanita luar baisa yang kemudian menjadi
istri saya. Pixar terus melaju dan kemudian menciptakan film animasi
komputer pertama di dunia, Toy Story, dan kini merupakan studio animasi
paling berhasil di dunia. Sebuah perkembangan tak terduga juga
menyebabkan Apple membeli NeXT dan akhirnya saya kembali ke Apple.
Teknologi yang kami kembangkan di NeXT pun menjadi pusat kebangkitan
kembali Apple. Laurene dan saya juga membina keluarga yang indah
bersama.
Saya cukup yakin semua ini tidak akan terjadi kalau saja waktu
itu saya tidak dipecat dari Apple. Itu benar-benar obat yang rasanya
sangat tidak enak tapi sepertinya sangat diperlukan oleh si pasien.
Kadang hidup seolah menghantam kepala kita dengan batu bata. Tapi
janganlah hilang keyakinan. Saya telah diyakinkan bahwa satu-satunya
yang membuat saya tetap bertahan adalah karena saya mencintai apa yang
saya lakukan. Temukanlah apa yang kalian cintai.
Itu berlaku untuk
pekerjaan seperti halnya juga dalam percintaan. Kelak pekerjaan akan
mengisi sebagian besar kehidupan kalian, dan satu-satunya cara untuk
benar-benar merasa puas adalah dengan meyakini bahwa apa yang kalian
lakukan itu adalah pekerjaan yang hebat. Dan satu-satunya cara melakukan
pekerjaan yang hebat adalah dengan mencintai apa yang kalian lakukan.
Kalau kalian belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan berhenti.
Seperti hal-hal yang berkaitan dengan kata hati, kalian akan tahu ketika
nanti sudah menemukannya. Dan seperti halnya sebuah hubungan luar biasa
manapun, semuanya akan menjadi semakin baik dan lebih baik seiring
perkembangan waktu. Jadi teruslah mencari sampai kalian menemukannya.
Jangan berhenti.
Cerita ketiga saya adalah tentang kematian.
Sewaktu berusia 17 tahun, saya pernah membaca sebuah kutipan
yang kurang lebih bunyinya begini: “Jika kau menjalani setiap hari
seolah itu hari terakhirmu, maka suatu saat nanti bisa jadi itu benar.”
Kutipan ini berkesan bagi saya, dan sejak itu, selama 33 tahun terakhir
setiap pagi saya selalu menatap cermin dan bertanya pada diri sendiri:
“Kalau hari ini adalah hari terakhir hidup saya, akankah saya tetap
melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” Kalau jawabannya terus
menerus “Tidak” selama berhari-hari, saya tahu ada sesuatu yang harus
saya ubah.
Mengingat bahwa saya akan mati adalah cara terpenting yang
pernah saya temui dalam membantu membuat keputusan-keputusan besar dalam
hidup. Karena nyaris semuanya, -entah itu harapan dari luar,
kebanggaan, ketakutan untuk maju atau gagal- semuanya akan sirna di
hadapan kematian dan hanya menyisakan apa yang benar-benar penting saja.
Mengingat kita akan mati adalah cara terbaik yang saya tahu untuk
menghindari jebakan pemikiran bahwa kita akan kehilangan sesuatu. Kita
sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati.
Sekitar setahun lalu saya didiagnosa terkena kanker. Saya
menjalani proses scanning pada pukul 7.30 pagi dan hasilnya jelas
menunjukkan ada tumor di bagian pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu
pankreas. Para dokter mengatakan, ini hampir pasti sejenis kanker yang
tidak bisa disembuhkan dan hidup saya tidak akan lebih dari 3 hingga 6
bulan. Dokter menyarankan untuk pulang dan menyelesaikan semua urusan
saya. Ini seperti isyarat dari dokter untuk mempersiapkan kematian. Ini
artinya berusaha menceritakan kepada anak-anak kita apa yang seharusnya
disampaikan dalam masa 10 tahun, dalam masa hanya beberapa bulan. Ini
artinya memastikan adanya persiapan agar semuanya menjadi semudah
mungkin bagi keluarga. Ini artinya mengucapkan selamat tinggal.
Seharian saya terus memikirkan diagnosa dokter itu. Malam
harinya saya menjalani biopsi, sebuah proses dimana sebuah endoskop
dimasukkan lewat tenggorokan, terus masuk ke perut melewati usus, lalu
pankreas saya ditusuk dengan jarum untuk mengambil sejumlah sel dari
tumor yang ada disana. Selama proses itu saya dibius, tapi menurut istri
saya yang juga hadir, ketika mengamati sel itu di bawah mikroskop, para
dokter mulai menangis karena ternyata itu adalah jenis kanker pankreas
yang sangat langka dan bisa disembuhkan lewat operasi. Sayapun menjalani
operasi itu dan kini sudah sehat.
Ini adalah kondisi paling dekat dengan kematian yang pernah
saya hadapi, dan semoga ini kondisi terdekat untuk beberapa dekade lagi.
Setelah melalui semua itu, kini saya bisa dengan lebih yakin mengatakan
kepada kalian bahwa ketika kematian merupakan sebuah konsep yang
berguna tapi murni intelektual:
Tidak seorang pun mau mati. Bahkan orang-orang yang ingin masuk
surgapun tidak mau mati untuk bisa sampai ke sana. Tapi tetap saja
kematian adalah sebuah tujuan yang akan kita semua tuju. Tidak ada yang
pernah bisa lolos dari kematian, dan seperti itulah seharusnya, karena
kematian kemungkinan besar adalah temuan terbaik dari hidup. Kematian
adalah agen perubahan dari hidup. Ia menyingkirkan semua yang sudah tua
guna membuka jalan bagi yang baru. Saat ini yang baru itu adalah kalian.
Tapi suatu hari nanti, tidak lama dari sekarang, perlahan kalian akan
menjadi tua dan juga disingkirkan. Maaf kalau saya jadi sangat dramatis,
tapi ini ada benarnya.
Waktu kalian terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani
hidup orang lain. Jangan terjebak oleh dogma, yakni menjalani hidup
dengan hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan kegaduhan dari
pendapat orang lain menenggelamkan suara dari dalam diri kalian sendiri.
Dan yang paling penting beranilah untuk mengikuti kata hati dan intuisi
kalian. Karena entah bagaimana caranya, kata hati dan intuisi itu sudah
tahu kalian ingin benar-benar menjadi apa nantinya. Yang lainnya tidak
terlalu penting.
Waktu saya masih muda, ada sebuah penerbitan yang bernama The
Whole Earth Catalog. Bisa dikatakan ini adalah salah satu kitab dari
generasi saya. Katalog ini diciptakan tidak jauh dari sini, di Menlo
Park, oleh seseorang bernama Stewart Brand. Ia menghidupkan katalog itu
dengan sentuhan puitisnya. Ini terjadi di tahun 1960-an, sebelum era
komputer dan desktop publishing. Jadi semuanya dibuat dengan mesin
ketik, gunting dan kamera polaroid. Ini semacam Google dalam bentuk buku
bersampul tipis yang hadir 35 tahun sebelum Google ada. Katalog ini
sangat idealis, sarat dengan produk-produk yang bagus dan
pemikiran-pemikiran yang hebat.
Stewart dan timnya menerbitkan beberapa edisi The Whole Earth
Catalogue hingga akhirnya mereka menerbitkan edisi terakhir. Ini terjadi
di pertengahan tahun 1970-an dan saya masih seusia kalian. Di sampul
belakang edisi terakhir katalog itu ada sebuah foto suasana jalan
pedesaan di pagi hari, semacam suasana ketika kalian yang punya rasa
petualangan biasa menyetop mobil untuk ditumpangi. Di bawah tulisan itu
ada kata-kata: “Stay Hungry. Stay Foolish.” Ini adalah pesan perpisahan
mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Tetaplah Lapar. Tetaplah Bodoh. Ini
selalu menjadi harapan untuk diri saya sendiri. Dan sekarang, saat
kalian lulus dan memulai sesuatu yang baru, sayapun berharap ini untuk
kalian.
Stay Hungry. Stay Foolish.
Terimakasih banyak, semuanya.
------------