ISLAM: RISALAH KENABIAN DAN RENAISANS BARAT
Bagi pemeluknya, Islam adalah sebuah risalah kenabian yang menggenapi risalah-risalah agama terdahulu—Yahudi dan Kristen—yang memiliki satu tujuan yang sama, yaitu mengajak umat manusia kepada Jalan Tuhan. Dalam Islam sendiri, mengimani eksistensi ajaran Juruselamat-juruselamat terdahulu adalah sebuah kewajiban dan menjadi salahsatu dari Rukun Iman Islam. Umat Islam diwajibkan meyakini dan mengakui risalah-risalah kenabian terdahulu, yang menyeru kepada satu tujuan yang sama. Umat Islam diwajibkan—dengan sepenuh hati—mengakui eksistensi Abraham/Ibrahim, Yakub/Jacob, Daud/King David, Isa al-Masih/Yesus Kristus, dan tentu saja, pembawa risalah-risalah ketuhanan terdahulu yang lain, yang berawal dari Bapak Adam. Kewajiban untuk mengakui risalah kenabian terdahulu tersebut, juga mencakup pengakuan akan teks-teks ketuhanan yang diturunkan kepada mereka, seperti Taurat/Perjanjian Lama, Injil/Perjanjian Baru, Zabur/Mazmur dan lain sebagainya.
Islam lahir di negeri Arab, melalui perantaraan seorang manusia bernama Muhammad. Berbeda dengan Kristen—yang menganggap Yesus Kristus sebagai inkarnasi Tuhan dalam wujud manusia, Islam tidak memandang Muhammad sebagai perwujudan Tuhan dalam diri manusia, tetapi sebatas sebagai seorang penyampai Risalah Tuhan. Selain bertalian secara historis dengan Kristen, Islam juga memiliki pertalian darah secara genetis pada sosok pembawa risalah. Muhammad, sebagai utusan Tuhan, adalah keturunan dari Bapak Abraham melalui jalur Ismael. Keterkaitan-keterkaitan ini—bagi umat Islam—adalah sebuah fakta yang mencerahkan, karena—bukannya sebagai anti-kristus misalnya—Islam hadir sebagai pelengkap hukum-hukum Tuhan sebelumnya yang mengajak kepada jalan Tuhan yang lurus.
Jika inti dari agama Kristen adalah sosok Yesus dan keyakinan Trinitas, maka inti dari agama Islam adalah peng-Esa-an Tuhan secara absolut—tanpa segala bentuk konsep inkarnasi atau perantara wujud. Oleh karenanya, demi menghindari keterpersokan umat dalam kultus manusia—seperti Yesus Kristus dalam Kristen, Islam melarang pembuatan gambar Muhammad.
Jadi, menurut pemahaman umat Islam, agama Islam bukanlah musuh bagi agama sebelumnya, dan walau hadir untuk mengingatkan umat sebelumnya untuk bertolak pada agama yang telah disempurnakan ini, tetapi tak ada paksaan dalam pengabaran risalah Tuhan ini. Prinsip kebebasan iman ini tertuang jelas dalam Al-Qur`an Surat Al-Kafiruun Ayat 6: Bagimu agamamu, bagiku agamaku—ayat ini kemudian menjadi klise karena menjadi pedoman umat Islam dalam dialog-dialog antar-agama.
Mengenai independensi Islam sebagai agama penyempurna dan tidak bertendensi untuk memusuhi agama terdahulu, bisa kita simak kisah-kisah hubungan yang romantis antara umat Islam dan Kristen pada awal kenabian Muhammad. Bahkan, orang yang pertama mengenali dan mengakui tanda kenabian Muhammad adalah seorang Pendeta Kristen Nestorian(4) dari Suriah bernama Bahira/Buhairah.
Kisah lain yang menunjukkan romantisme hubungan Islam-Kristen di awal kenabian adalah kisah pemberian suaka politik bagi umat Islam yang diberikan oleh Raja Najasyi, seorang raja dari Kerajaan Kristen Habasyah. Pemberian suaka ini berkenaan dengan kondisi awal umat Islam yang terjepit karena dominasi kaum non-Islam Mekkah yang ingin memerangi Islam.(5)
Jadi, pokok kesimpulan yang bisa kita ambil dan kita pahami adalah, bahwa Islam dan Kristen, di negeri Timur tidak mengalami konflik, dan bahkan mengalami hubungan-hubungan yang romantis. Konflik Kristen-Islam hanya terjadi di dan dari campur tangan Kristen Barat. Poin ini tentu sangat penting untuk memberi gambaran yang lebih obyektif, bahwa konflik yang sebenarnya terjadi di masa lalu, adalah konflik antara Islam dan umat Kristen dari Barat, atau bisa di persempit menjadi: konflik antara Islam dan Barat.
RENAISANS BARAT
Kenapa umat Kristen di barat sangat terganggu—yang kemudian menjadi benci—dengan kehadiran risalah ketuhanan Islam? Hal itu tak bisa di simpulkan dengan pasti. Tapi yang nampaknya sangat bisa kita terima adalah, bahwa kebencian Kristen Barat kepada Islam dilatari oleh nafsu-nafsu rendahan manusia, yang sebagiannya bisa kita afiliasikan dengan karakter genetis Barat: agresif, barbar dan serakah.
Ada satu masa di barat, dimana seluruh negeri Barat berada dalam krisis kebudayaan dan pemikiran, yang mencapai titik terendah kehidupan manusia. Dominasi Kerajaan Tuhan Katolik Roma telah menecengkeram Eropa dalam kekuasaan absolut berdasar doktrin-doktrin agama yang hampir tanpa celah untuk kritik. Padahal, karena banyak sebab historis, doktrin-doktrin Kristen mengalamai begitu banyak peyorasi teologis, yang berujung pada ketidak-sinkronan kehidupan agama dengan kehidupan pemikiran yang rasional. Agama Kristen berkembang menjadi begitu simbolis dan kehilangan ruh dinamisasi. Doktrin berubah menjadi ketetapan, dan ketetapan menjadi hukum. Segala pemikiran yang dianggap berseberangan dengan doktrin Kristen akan diperangi dan kemudian dimusnahkan. Akhirnya, Barat berada dalam stagnasi yang mencekam.
Sementara itu, di Timur, Islam terus berkembang menjadi negeri yang hebat. Dinasti-dinasti Kekhalifahan berdiri di beberapa pusat: Kekhalifahan Abassiyah di Iraq, Kekhalifahan Fathimiyah di Maroko, dan Kekhalifahan Andalusia di Spanyol. Secara kasat mata, kehadiran negeri-negeri Islam itu membuat negeri Kristen Barat merasa gelisah, iri, takut dan akhirnya benci. Kegelisahan Barat kepada negeri-negeri Islam akhirnya bermuara pada munculnya mitos-mitos dan propaganda-propaganda yang sangat mengerikan dan memalukan. Dalam titik itu, semua orang akan dengan malu harus mengakui bahwa Barat—dengan bendera Kerajaan Katolik Roma, adalah negeri yang sangat intoleran, radikal dan barbar.
Kekhalifahan Andalusia dan Mitos Islam(6)
Seiring dengan zaman kegelapan Eropa, saat itu, di Spanyol telah berdiri sebuah Kekhalifahan Islam yang sangat megah yaitu Kekhalifahan Andalusia. Umat Islam mengalami puncak kehidupan dan kejayaan. Kehidupan sejahtera dan Ilmu Pengetahuan berkembang sangat subur.
Berbeda dengan doktrin Kristen saat ini, Islam justru mendorong umatnya untuk mengkaji dan melakukan aktualisasi Ilmu setinggi-tingginya. Jadilah saat itu, terjadi proses ‘penyerahan tongkat estafet’ ilmu pengetahuan—khususnya filsafat—dari kebudayaan Yunani Kuno ke tangan Islam. Berbagai manuskrip tentang filsafat Yunani diterjemahkan secara masal ke dalam bahasa arab dan menjadi bahan kajian umat Islam. Dengan kajian berbasis teologi Islam, kemudian lahirlah bahasan-bahasan filsafat kalam yang cemerlang. Selain filsafat, bidang ilmu pengetahuan yang lain juga mengalami perkembangan yang cemerlang saat itu. Secara umum, jika kita ingin membayangkan kondisi Eropa dan dunia Islam saat itu, adalah kondisi umat Islam dan Barat sekarang, dalam kondisi terbalik.
Kami salin dari Kompasiana ( Alwan Rosyidin )